JAKARTA – Kinerja harga logam industri sepanjang awal tahun 2025 mencatat pergerakan yang fluktuatif, mencerminkan kondisi pasar global yang masih diselimuti ketidakpastian. Sejumlah faktor seperti kebijakan suku bunga global, perlambatan pertumbuhan ekonomi Tiongkok, dan ketegangan geopolitik turut memberikan tekanan pada sejumlah harga logam utama, meskipun beberapa komoditas seperti timah justru menunjukkan performa yang gemilang.
Mengacu pada data Trading Economics per Minggu 25 Mei 2025 pukul 13.15 WIB, harga aluminium tercatat turun 3,36% secara year-to-date (YTD), berada di level US$ 2.472 per ton. Penurunan harga ini menandakan tekanan yang dialami logam industri akibat melemahnya permintaan global.
Timah Jadi Komoditas Paling Bersinar
Dari berbagai jenis logam, timah menjadi komoditas dengan performa paling menonjol di tahun ini. Penguatan harga timah terjadi seiring dengan terbatasnya pasokan global dan meningkatnya permintaan dari sektor elektronik dan soldering. Kondisi ini mendorong harga timah di pasar global mencatat kenaikan signifikan dalam beberapa bulan terakhir.
Analis Komoditas dari Bank Central Asia (BCA), Arga Permana, menyebutkan bahwa kelangkaan pasokan menjadi pendorong utama harga timah. "Produksi timah dari Myanmar dan Indonesia mengalami hambatan, sementara kebutuhan industri masih tinggi. Ini membuat harga timah naik cukup tajam sejak awal tahun," ujar Arga.
Menurut Arga, tren penguatan harga timah diprediksi masih berlanjut selama paruh kedua 2025, selama ketidakseimbangan pasokan dan permintaan masih terjadi. Ia menambahkan, permintaan dari industri otomotif dan elektronik akan terus menjaga daya tarik komoditas ini di mata investor.
Nikel Masih Tertekan di Tengah Oversupply
Berbeda dengan timah, harga nikel justru mengalami tekanan cukup besar. Pasokan nikel global yang melimpah, khususnya dari Indonesia sebagai produsen utama, menyebabkan tekanan pada harga logam ini.
"Harga nikel sulit bangkit karena pasar saat ini dibanjiri pasokan, terutama dari Indonesia yang terus meningkatkan kapasitas produksi nikel olahan. Meski permintaan baterai kendaraan listrik meningkat, belum mampu menyerap surplus pasokan yang ada," jelas Arga.
Tekanan terhadap harga nikel juga diperparah oleh ketidakpastian arah kebijakan moneter Amerika Serikat. Kenaikan suku bunga acuan oleh The Fed menyebabkan penguatan dolar AS, yang pada gilirannya memberikan tekanan pada harga komoditas global, termasuk nikel.
Aluminium dan Tembaga Mengikuti Tren Tekanan
Selain nikel, logam lain seperti aluminium dan tembaga juga mengalami koreksi harga. Berdasarkan data Trading Economics, harga aluminium terkoreksi 3,36% YTD menjadi US$ 2.472 per ton. Koreksi ini dipicu oleh lemahnya aktivitas manufaktur di sejumlah negara maju, serta ketidakpastian permintaan dari Tiongkok.
Sementara itu, tembaga yang kerap dijadikan indikator kesehatan ekonomi global juga menghadapi tekanan akibat penurunan permintaan dari sektor konstruksi dan otomotif. Harga tembaga cenderung stabil, namun belum menunjukkan tanda-tanda penguatan yang signifikan.
"Tembaga saat ini berada dalam posisi menunggu. Pasar ingin melihat arah pemulihan ekonomi global sebelum melakukan pembelian besar-besaran," ujar Arga.
Sentimen Global Masih Dominan
Analis menyebutkan bahwa volatilitas harga logam industri akan terus terjadi selama ketidakpastian makroekonomi global belum mereda. Kebijakan suku bunga The Fed, konflik geopolitik seperti di Timur Tengah dan Eropa Timur, serta perlambatan ekonomi Tiongkok menjadi faktor utama yang membayangi pasar komoditas.
"Pasar logam saat ini sangat sensitif terhadap sentimen global. Setiap perubahan arah kebijakan ekonomi negara besar bisa langsung mempengaruhi harga," tambah Arga.
Selain itu, kekhawatiran terhadap ketahanan rantai pasok global juga menjadi faktor lain yang turut membentuk dinamika harga logam. Negara-negara kini mulai melakukan diversifikasi pasokan dan berupaya memperkuat industri hilir untuk mengurangi ketergantungan terhadap ekspor bahan mentah.
Prospek Kuartal II dan II 2025
Melihat tren harga logam saat ini, analis memproyeksikan bahwa paruh kedua tahun 2025 akan tetap diwarnai fluktuasi. Beberapa komoditas seperti timah diprediksi akan mempertahankan penguatan, sedangkan nikel dan aluminium masih berisiko melanjutkan tren penurunan.
"Kami melihat bahwa harga timah masih berpeluang naik jika pasokan tetap terbatas. Namun untuk nikel, outlook-nya masih bearish kecuali ada pemangkasan produksi atau lonjakan permintaan mendadak dari sektor EV," kata Arga.
Arga juga menekankan pentingnya peran kebijakan pemerintah dalam menjaga stabilitas harga komoditas. Kebijakan ekspor-impor, insentif hilirisasi, dan penguatan industri domestik akan sangat menentukan arah pasar logam ke depan.
Investasi Komoditas Perlu Selektif
Dalam kondisi pasar yang fluktuatif ini, investor disarankan untuk lebih selektif dalam memilih instrumen investasi berbasis komoditas logam. Menurut Arga, fokus sebaiknya diarahkan pada komoditas dengan prospek fundamental kuat dan pasokan terbatas, seperti timah dan emas.
"Investor harus melakukan diversifikasi dan tetap mengikuti perkembangan global. Jangan hanya tergiur oleh pergerakan harga jangka pendek, tapi pahami pula dinamika pasokan dan permintaan secara menyeluruh," pungkas Arga.
Dengan demikian, tahun 2025 menjadi tahun penuh tantangan bagi pasar logam dunia. Ketidakpastian global membuat harga bergerak liar, namun juga membuka peluang bagi komoditas tertentu untuk bersinar. Bagi pelaku pasar dan investor, memahami kondisi makro dan dinamika sektor industri menjadi kunci utama untuk bertahan dan meraih keuntungan di tengah gejolak pasar.