JAKARTA - Harga batu bara di pasar global menutup perdagangan Jumat, 19 September 2025, dengan kondisi stagnan di level USD103,35 per ton untuk kontrak pengiriman bulan depan di ICE Newcastle.
Meskipun di akhir pekan harga tidak bergerak, sepanjang minggu lalu batu bara sempat mencatat kenaikan 2,63 persen secara point-to-point. Namun, kenaikan ini lebih terlihat sebagai technical rebound, bukan tanda pemulihan harga yang berkelanjutan. Dalam sebulan terakhir, harga batu bara global masih terkoreksi lebih dari 7 persen, menunjukkan tekanan jual yang signifikan.
Sentimen negatif terbesar masih datang dari China, konsumen sekaligus produsen batu bara terbesar dunia. Produksi di Negeri Tirai Bambu terus mencetak rekor pada tahun ini, sementara harga domestik yang sempat melonjak di atas CNY 700/ton pada puncak musim panas kini mereda.
Perkiraan untuk memasuki musim dingin adalah harga yang tetap stagnan, karena pasokan berlimpah dan permintaan normalisasi. Hal ini membuat ruang kenaikan harga global terbatas.
Kondisi Teknis Batu Bara
Dari sisi teknikal, tren mingguan menunjukkan dominasi tekanan jual atau zona bearish. Indikator RSI berada di angka 38, di bawah ambang 50, menandakan dominasi tekanan jual. Sementara itu, Stochastic RSI turun ke level 7, jauh di bawah 20, yang menunjukkan kondisi oversold ekstrem. Kondisi ini membuka peluang technical rebound jangka pendek, meski tetap dibayangi risiko penurunan harga.
Resisten terdekat untuk harga berada di USD106/ton yang bertepatan dengan MA-5. Jika mampu menembus level ini, harga berpotensi naik menuju USD109/ton (MA-10), dan selanjutnya ke rentang USD114–124/ton.
Namun, jika tekanan jual kembali muncul, harga bisa mundur ke support USD102/ton sebelum menguji area psikologis USD100–98/ton. Dalam skenario pesimistis, harga berpotensi jatuh hingga USD93/ton.
Dampak ke Emiten Tambang Indonesia
Fluktuasi harga batu bara global secara langsung memengaruhi kinerja emiten tambang di Bursa Efek Indonesia (BEI). Saham-saham besar seperti PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), dan PT Alamtri Resources Indonesia Tbk (ADRO) menjadi yang paling sensitif terhadap pergerakan harga ini.
Jika harga mampu bertahan di atas USD100/ton, margin keuntungan bagi perusahaan dengan biaya produksi rendah seperti PTBA masih relatif aman. Adaro (ADRO), yang juga memiliki diversifikasi ke energi terbarukan, dianggap lebih tangguh menghadapi volatilitas harga. Sebaliknya, ITMG yang sangat bergantung pada ekspor berisiko lebih tinggi jika harga global kembali menurun.
Selain itu, emiten mid-cap seperti PT Harum Energy Tbk (HRUM) dan PT Indika Energy Tbk (INDY) patut dicermati. HRUM memiliki eksposur ke nikel dan logam baterai, yang dapat menjadi bantalan terhadap penurunan harga batu bara, sementara INDY tengah gencar melakukan transisi ke energi baru.
Prospek Pekan Ini
Secara keseluruhan, pekan ini harga batu bara masih terombang-ambing di antara tekanan dari pasokan berlebih dan peluang technical rebound akibat kondisi oversold. Investor di pasar saham diimbau untuk tetap waspada. Kenaikan harga batu bara kemungkinan hanya bersifat jangka pendek dan lebih dipengaruhi faktor teknikal daripada fundamental permintaan.
Strategi investasi yang lebih aman adalah fokus pada emiten dengan struktur biaya efisien dan diversifikasi bisnis. Perusahaan yang mampu menahan margin keuntungan dalam kondisi harga volatil atau yang memiliki lini usaha energi terbarukan diprediksi akan lebih stabil menghadapi fluktuasi harga batu bara global.
Dengan kondisi pasar yang masih dipengaruhi produksi tinggi China dan normalisasi permintaan domestik, pelaku pasar perlu memantau pergerakan harga harian serta laporan stok dan ekspor, terutama dari negara produsen utama. Kesiapan untuk menyesuaikan strategi investasi menjadi kunci agar tetap menjaga profitabilitas di tengah dinamika pasar batu bara global.