JAKARTA - Penggunaan minyak goreng bekas atau minyak jelantah yang dipakai berulang kali masih menjadi praktik umum di masyarakat Indonesia, terutama karena alasan efisiensi ekonomi. Namun, di balik praktik hemat ini, tersembunyi ancaman kesehatan serius yang dapat berdampak jangka panjang. Pakar gizi dan kesehatan masyarakat memperingatkan bahwa penggunaan minyak jelantah secara berulang meningkatkan risiko sejumlah penyakit kronis yang berbahaya, termasuk kanker.
Minyak goreng yang telah digunakan berulang kali akan mengalami proses oksidasi akibat pemanasan suhu tinggi berulang. Proses ini menyebabkan terbentuknya senyawa kimia berbahaya seperti akrolein, aldehida, dan radikal bebas. Zat-zat tersebut dikenal memiliki sifat karsinogenik atau pemicu pertumbuhan sel kanker dalam tubuh.
"Pemanasan berulang terhadap minyak menyebabkan degradasi struktur kimianya. Ini memunculkan senyawa toksik yang sangat berbahaya bagi kesehatan. Salah satu yang paling diwaspadai adalah akrolein, yang dapat merusak jaringan dan memicu reaksi inflamasi dalam tubuh," jelas Dr. Rizky Handayani, pakar gizi dari Universitas Tanjungpura Pontianak.
Menurutnya, konsumsi makanan yang digoreng menggunakan minyak jelantah dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan, mulai dari gangguan pencernaan, kerusakan hati, peningkatan kolesterol jahat (LDL), hingga risiko penyakit jantung dan kanker.
Banyak pelaku usaha makanan kecil dan rumah tangga yang masih menggunakan minyak goreng secara berulang karena keterbatasan biaya. Namun, para ahli mengimbau agar masyarakat mulai sadar akan bahaya jangka panjang dari praktik ini. "Penghematan jangka pendek seharusnya tidak mengorbankan kesehatan jangka panjang," tambah Dr. Rizky.
Di beberapa kasus, minyak jelantah yang mengandung zat berbahaya bahkan ditemukan digunakan dalam pembuatan ulang minyak goreng curah yang tidak terstandarisasi. Praktik ini menambah risiko paparan senyawa berbahaya dalam rantai konsumsi masyarakat, terutama di kalangan menengah ke bawah.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI juga telah mengeluarkan imbauan kepada masyarakat untuk tidak menggunakan minyak goreng lebih dari dua kali penggorengan. "Minyak goreng yang sudah digunakan lebih dari dua kali sebaiknya tidak digunakan kembali. Warna yang terlalu gelap dan munculnya buih saat dipanaskan adalah tanda-tanda kerusakan minyak yang tidak layak konsumsi," tegas BPOM dalam pernyataan resminya.
Selain potensi risiko kanker, konsumsi minyak jelantah juga dikaitkan dengan meningkatnya kadar kolesterol dan radikal bebas dalam tubuh, yang dapat mempercepat proses penuaan sel dan menurunkan imunitas. Anak-anak dan lansia menjadi kelompok paling rentan terhadap dampak negatif ini.
Dalam konteks ini, Dinas Kesehatan Kota Pontianak telah menggelar sejumlah kampanye edukatif mengenai bahaya minyak jelantah melalui program posyandu dan penyuluhan di pasar-pasar tradisional.
"Kami berupaya menyadarkan masyarakat agar tidak lagi menganggap remeh penggunaan minyak bekas. Kami juga mengajak pelaku usaha kuliner untuk mulai beralih ke minyak yang lebih sehat atau setidaknya membatasi penggunaan ulang minyak goreng," ujar Kepala Dinas Kesehatan Kota Pontianak, dr. Lenny Marlina.
Lebih lanjut, pemerintah daerah juga sedang menjajaki kerja sama dengan pihak swasta untuk mengolah minyak jelantah menjadi bahan bakar biodiesel sebagai solusi alternatif dalam pengelolaan limbah rumah tangga. Langkah ini diharapkan bisa mengurangi dampak pencemaran lingkungan sekaligus menekan risiko kesehatan akibat penggunaan minyak bekas.
Masyarakat juga diimbau untuk tidak membuang minyak jelantah sembarangan ke saluran air atau tanah karena dapat mencemari lingkungan dan menyumbat sistem sanitasi. Sebaliknya, minyak bekas disarankan untuk dikumpulkan dan disalurkan ke bank jelantah atau unit daur ulang yang telah tersedia di beberapa kota besar.
Dengan semakin meningkatnya kesadaran terhadap gaya hidup sehat, edukasi tentang bahaya minyak goreng bekas perlu terus digencarkan. Pemerintah, akademisi, dan masyarakat sipil diharapkan dapat bersinergi dalam membentuk pola konsumsi yang lebih aman dan ramah lingkungan.
"Jangan tunggu sampai sakit. Mari kita mulai perubahan dari dapur kita sendiri. Gunakan minyak secukupnya, hindari penggunaan berulang, dan pilih bahan masakan yang lebih sehat. Kesehatan keluarga dimulai dari kesadaran kecil seperti ini," tutup Dr. Rizky Handayani.
Dengan mengubah kebiasaan sederhana, masyarakat dapat menghindari risiko besar yang mengintai dalam keseharian. Minyak jelantah bukan hanya persoalan hemat atau mahal, tetapi persoalan kesehatan yang harus dihadapi dengan pengetahuan dan tindakan nyata.