JAKARTA - Di tengah gencarnya pembangunan infrastruktur energi nasional, pengembangan infrastruktur gas bumi justru menuai sorotan tajam. Laporan terbaru dari dua organisasi pemantau independen, debtWATCH dan Trend Asia, menyebutkan bahwa proyek gas tidak layak disebut sebagai investasi strategis. Sebaliknya, proyek tersebut dianggap sebagai jebakan utang yang membahayakan kedaulatan energi dan ekonomi nasional.
Dalam dokumen yang dirilis akhir April 2025, kedua lembaga ini mengungkap bahwa nilai investasi pengembangan proyek gas di Indonesia mencapai USD 32,4 miliar, sebagian besar bersumber dari pembiayaan tidak langsung maupun dalam bentuk utang luar negeri. Skema pembiayaan tersebut dinilai tidak transparan dan berpotensi menjerumuskan Indonesia dalam krisis multidimensi, mulai dari krisis iklim, beban fiskal, hingga praktik korupsi.
“Proyek gas yang sedang dikembangkan pemerintah sebenarnya bukanlah investasi strategis, melainkan bentuk skema utang yang mengancam masa depan energi dan ekonomi Indonesia,” ujar Deni Rahman, Peneliti Energi dan Keuangan dari debtWATCH, dalam keterangannya.
Gas Dinilai Gagal Jadi Energi Transisi
Isu bahwa gas merupakan energi transisi yang lebih bersih dibanding batu bara juga dibantah dalam laporan tersebut. Menurut Trend Asia, penggunaan gas alam tetap menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang signifikan. Emisi ini berasal dari proses produksi, distribusi, dan konsumsi gas, termasuk kebocoran metana, salah satu GRK paling berbahaya bagi iklim.
“Narasi bahwa gas adalah energi bersih hanya ilusi. Gas tetap menghasilkan emisi yang tinggi, bahkan pada beberapa tahap produksinya, emisinya lebih buruk dari batu bara,” ungkap Farah Sofyan, Peneliti Kebijakan Energi dari Trend Asia.
Farah menambahkan bahwa alih-alih mempercepat transisi energi menuju sumber yang terbarukan, pengembangan proyek gas justru memperpanjang ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil dan menghambat target netral karbon atau net zero emission pada 2060 yang telah dicanangkan pemerintah.
Ancaman Terhadap Kedaulatan Energi dan Ekonomi
Menurut laporan, skema pembiayaan yang digunakan dalam proyek gas nasional sangat bergantung pada lembaga keuangan internasional dan pinjaman bilateral. Hal ini memunculkan kekhawatiran bahwa ketergantungan pada utang untuk proyek gas akan membebani anggaran negara dan mengancam kedaulatan pengambilan kebijakan energi.
“Banyak proyek gas dibiayai dengan mekanisme utang yang tidak transparan dan sulit diaudit. Ini membuka celah besar untuk korupsi dan penyalahgunaan anggaran,” tegas Deni Rahman.
Tak hanya itu, sebagian besar infrastruktur gas yang dibangun disebut memiliki orientasi ekspor ketimbang pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri. Artinya, keuntungan ekonomi lebih banyak mengalir ke luar negeri, sementara masyarakat Indonesia masih menghadapi harga energi yang mahal dan keterbatasan akses di wilayah terpencil.
Risiko Terjerat Utang dan Aset Terbengkalai
Laporan debtWATCH dan Trend Asia juga menyebutkan bahwa proyek-proyek gas yang tengah dikembangkan Indonesia berisiko tinggi menjadi aset terdampar (stranded assets). Mengingat tren global yang semakin cepat beralih ke energi terbarukan, infrastruktur gas seperti terminal LNG, pipa, dan pembangkit tenaga gas berpotensi ditinggalkan sebelum balik modal.
“Jika dunia terus bergerak menuju energi bersih, maka infrastruktur gas kita akan menjadi aset yang tidak berguna dan membebani fiskal negara,” tambah Farah Sofyan.
Kondisi ini semakin diperparah oleh fluktuasi harga gas internasional serta potensi kontrak jangka panjang yang merugikan negara jika permintaan gas menurun secara global.
Implikasi Lingkungan dan Sosial
Selain dampak ekonomi, pembangunan infrastruktur gas juga menimbulkan berbagai dampak sosial dan lingkungan. Dalam beberapa kasus, proyek gas menyebabkan penggusuran lahan, kerusakan ekosistem, serta kriminalisasi terhadap warga lokal yang menolak proyek.
Contoh nyata terlihat pada pembangunan terminal LNG di wilayah Indonesia Timur, di mana masyarakat adat tidak mendapatkan persetujuan berdasarkan prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC). Hal ini mencederai prinsip keadilan sosial dan hak masyarakat atas lingkungan hidup yang sehat.
“Pembangunan proyek gas tidak hanya menghancurkan lingkungan, tapi juga hak hidup masyarakat lokal. Banyak yang kehilangan tanah, mata pencaharian, bahkan kebebasan bersuara,” tutur Farah.
Tuntutan Kebijakan dan Reformasi Energi
Mengingat besarnya risiko dan dampak yang ditimbulkan, debtWATCH dan Trend Asia menyerukan agar pemerintah segera menghentikan proyek pengembangan infrastruktur gas yang masih direncanakan maupun yang sedang berjalan.
Kedua lembaga ini mengajukan beberapa rekomendasi kebijakan, antara lain:
- Moratorium pembangunan infrastruktur gas baru dan revisi Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) agar sejalan dengan target pengurangan emisi nasional.
- Pengalihan pembiayaan energi dari sektor gas ke energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan mikrohidro.
- Peningkatan transparansi dan akuntabilitas pembiayaan proyek energi, khususnya yang menggunakan utang luar negeri.
- Penghormatan terhadap hak masyarakat adat dan lokal dalam setiap proses pembangunan infrastruktur energi.
“Pemerintah harus berani memutus ketergantungan pada gas dan beralih ke energi terbarukan. Masa depan kita tidak bisa disandarkan pada fosil,” tegas Deni.
Membangun Energi Masa Depan yang Adil dan Berkelanjutan
Laporan ini memperkuat suara masyarakat sipil yang menuntut transisi energi yang adil dan inklusif. Dalam konteks global, negara-negara besar seperti Jerman dan Inggris telah menutup sebagian besar pembangkit gas mereka dan menggantikannya dengan energi surya dan angin yang lebih murah dan bersih.
Indonesia, sebagai negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, dinilai harus mengambil langkah tegas untuk keluar dari ketergantungan pada energi fosil, termasuk gas. Kebijakan yang pro-rakyat, pro-lingkungan, dan berbasis energi terbarukan menjadi keharusan demi mewujudkan kedaulatan energi nasional yang berkelanjutan.