Minyak

Harga Minyak Dunia Tertekan, Penundaan Tarif Smartphone oleh Trump Serta Dialog AS dan Iran Jadi Pemicu

Harga Minyak Dunia Tertekan, Penundaan Tarif Smartphone oleh Trump Serta Dialog AS dan Iran Jadi Pemicu

JAKARTA - Harga minyak mentah global kembali mengalami penurunan signifikan pada awal pekan ini. Faktor utama yang memicu pelemahan harga adalah keputusan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang menunda pemberlakuan tarif impor terhadap ponsel pintar dan barang elektronik konsumen lainnya. Selain itu, diskusi yang dinilai "konstruktif" antara Amerika Serikat dengan Iran turut meredam kekhawatiran pasar atas eskalasi geopolitik yang selama ini menopang harga minyak mentah.

Minyak mentah Brent, yang menjadi acuan global, diperdagangkan mendekati level US$65 per barel. Sementara itu, West Texas Intermediate (WTI), patokan harga minyak untuk pasar Amerika Utara, bergerak di kisaran US$61 per barel. Harga ini mencerminkan penurunan setelah sebelumnya sempat mengalami kenaikan moderat.

Pelonggaran kebijakan perdagangan ini diumumkan pada Jumat malam waktu setempat. Dalam pengumumannya, pemerintah Amerika Serikat menyatakan bahwa ponsel pintar, komputer, dan barang elektronik konsumen lainnya akan dikecualikan dari gelombang tarif terbaru terhadap produk-produk asal China. Langkah ini merupakan sinyal pelunakan yang signifikan dalam ketegangan dagang antara Washington dan Beijing.

Namun demikian, Presiden Trump tampaknya berusaha meredam optimisme pasar yang terlalu berlebihan. Dalam pernyataannya pada Minggu, Trump menegaskan bahwa penundaan tarif tersebut hanyalah langkah prosedural. Ia tetap bersikeras akan menerapkan pungutan terhadap sektor tersebut di kemudian hari.

“Ini hanyalah tindakan sementara yang bersifat prosedural,” kata Trump. “Kami tetap akan menerapkan tarif pada barang-barang itu, tapi kami ingin memastikan transisi ini dilakukan dengan baik.”

Kebijakan tarif dari Trump selama ini telah menjadi salah satu faktor utama yang membebani harga minyak dunia. Ketidakpastian terkait perang dagang antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia ini telah memicu kekhawatiran mendalam tentang prospek permintaan minyak global. Pasalnya, tarif yang tinggi berpotensi mengurangi konsumsi barang-barang yang membutuhkan energi dalam proses produksinya, sehingga berdampak pada permintaan bahan bakar fosil.

Tak hanya itu, para pelaku pasar juga mencermati keputusan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) beserta sekutunya yang tergabung dalam OPEC+. Koalisi ini memutuskan untuk mengembalikan produksi lebih cepat dari yang diperkirakan, yang turut memperburuk sentimen pasar. Penambahan pasokan ini terjadi di tengah lesunya permintaan global akibat kekhawatiran resesi serta ketegangan dagang yang belum mereda sepenuhnya.

“Pasar sedang mencoba menyeimbangkan dua narasi besar saat ini,” ungkap seorang analis energi dari Bloomberg Technoz. “Di satu sisi, kita melihat penundaan tarif yang memberikan angin segar bagi sentimen risiko global, namun di sisi lain, penambahan pasokan dari OPEC+ dan ketidakpastian geopolitik seperti hubungan AS-Iran masih menekan harga minyak.”

Memang, ketegangan antara Amerika Serikat dan Iran telah lama menjadi katalis penggerak harga minyak mentah. Namun, laporan terbaru mengenai adanya diskusi yang "konstruktif" antara kedua negara memberikan harapan baru bagi stabilitas kawasan Timur Tengah. Meskipun belum ada kesepakatan konkret yang dicapai, setidaknya langkah diplomatik ini berhasil menenangkan sebagian kecemasan pasar.

Bagi pasar minyak, kombinasi antara pelonggaran kebijakan tarif AS, meningkatnya produksi OPEC+, serta upaya diplomasi antara Washington dan Teheran telah menciptakan dinamika yang kompleks. Harga minyak berjangka pekan lalu sempat merosot ke level terendah sejak 2021, mencerminkan betapa besar tekanan yang dihadapi pasar energi global.

“Keputusan untuk menunda tarif smartphone dan barang elektronik lainnya memang memberikan sedikit ruang bernapas bagi pasar,” ujar analis tersebut. “Namun, prospek jangka panjang tetap dibayangi oleh kekhawatiran atas pertumbuhan ekonomi global dan ketidakpastian kebijakan energi.”

Sementara itu, para pelaku industri minyak juga terus memantau perkembangan terbaru dari sisi permintaan. Dengan ketidakpastian yang masih membayangi pertumbuhan ekonomi China—yang merupakan konsumen energi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat—pasar masih belum sepenuhnya keluar dari zona waspada.

Menurut catatan Bloomberg Technoz, harga minyak mentah Brent telah mencatat penurunan lebih dari 15 persen sejak mencapai puncaknya pada awal tahun ini. Penurunan ini sebagian besar dipicu oleh kekhawatiran atas perlambatan ekonomi global, serta langkah-langkah kebijakan moneter yang lebih ketat dari bank-bank sentral utama dunia, yang berpotensi menekan konsumsi energi.

Para analis memperkirakan bahwa dalam jangka pendek, volatilitas harga minyak masih akan tinggi. Sentimen pasar akan sangat dipengaruhi oleh perkembangan lanjutan dari negosiasi dagang AS-China, kebijakan OPEC+, serta dinamika geopolitik di kawasan Timur Tengah.

Di sisi lain, beberapa pelaku pasar melihat penurunan harga minyak ini sebagai peluang untuk melakukan akumulasi posisi beli, dengan harapan bahwa permintaan akan mulai pulih seiring meredanya ketegangan dagang dan membaiknya prospek ekonomi global.

Sebagai kesimpulan, harga minyak global yang kembali tergelincir mencerminkan betapa rentannya pasar energi terhadap dinamika geopolitik dan kebijakan perdagangan internasional. Meskipun keputusan untuk menunda tarif smartphone memberikan sinyal positif, namun kombinasi faktor-faktor negatif lainnya masih membayangi prospek harga minyak ke depan.

Para pengamat pasar menyarankan agar investor tetap berhati-hati dalam mengambil posisi, sembari memantau perkembangan terbaru dari sisi kebijakan global. Seperti yang dinyatakan oleh salah satu analis di Bloomberg Technoz, “Saat ini, kehati-hatian adalah kunci. Pasar sangat sensitif terhadap setiap perkembangan, baik dari sisi perdagangan maupun geopolitik.”

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index